Ada Hening di Balik Jendela
Langit senja melukis jingga di atas awan, semburat warnanya merayap masuk melalui celah-celah jendela kamar. Di hadapan meja dekat jendela, dia duduk termenung. Tatapannya kosong menerawang ke luar; sesekali hembusan angin sore menerbangkan helai rambutnya yang hitam panjang menjuntai.
Di tangannya, secangkir teh telah berubah dingin. Aromanya yang harum, nyatanya tak mampu menghangatkan dan melegakan hatinya yang beku. Di permukaan, ia tampak tenang. Senyum tipis sesekali menghiasi bibir tipisnya, namun tatapannya tetap saja kosong. Tak lagi bercahaya. Kata-kata yang dulunya kerap mengalir deras, kini terbendung. Hening yang dia ciptakan menusuk lebih dalam dari apapun. Diamnya adalah bahasa yang dia pilih untuk ungkapkan luka.
Dalam heningnya di balik jendela, dia bertarung dengan badai emosi; kemarahan, kekecewaan, dan rasa sakit berkelindan mencari jalan keluar. Namun suaranya tercekat, terganti oleh perasaan hampa yang menganga.
Namun yakinlah bahwa diamnya bukan tanda kelemahan, melainkan kekuatan yang terpendam. Di balik hening dan sunyinya, dia mengumpulkan kekuatan untuk kembali bangkit. Menyembuhkan lukanya, menemukan kekuatan untuk kembali melangkah.